PONDASI PERADILAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA (Filsafat Hukum dan Sumber Hukum)

PONDASI PERADILAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA

(Filsafat Hukum dan Sumber Hukum)

Beberapa pihak saat ini sedang mempertanyakan eksistensi Pengadilan Agama di Indonesia. Salah satunya adalah ketika Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh seorang mahasiswi yang bernama Thresia Idriani Niangtyasgayatri dengan Nomor perkara 1972/PAN.MK/V/2020 tanggal 11 Mei 2020. Dalam Gugatannya Thresia (Pemohon) menyatakan bahwa adanya diskriminasi terhadap agama lain dimana Pengadilan Agama di Indonesia hanya melayani masyarakat yang beragama Islam yang diatur dalam pasal 2 Undang-Undang Peradilan Agama[1]. Dalam hal ini Penulis tidak akan membahas lebih lanjut tentang materi gugatan, fokus tulisan ini adalah penulis hendak menjelaskan Peradilan Agama dari sudut pandang filsafat hukum dan sumber hukum dengan tujuan agar pembaca lebih memahami urgensi terbentuknya Peradilan Agama di Indonesia.

Pandangan Hukum di Indonesia

Pada bagian ini penulis akan mencoba menggambarkan arah Pandangan hukum di Indonesia berdasarkan beberapa sumber dan analisis singkat penulis. Dimulai dari filsafat hukum, ada beberapa pandangan hukum yang telah dikemukakan oleh para ahli terdahulu. Pertama dari aliran (Mazhab) Hukum Alam. Pandangan aliran Hukum Alam secara garis besar adalah, Hukum merupakan ciptaan Tuhan yang normanya berasal dari firman Tuhan Yang Maha Esa, dari alam itu sendiri dan dari akal fikiran alamiah manusia[2]. Kedua aliran Hukum Positif (Positivisme), dimana pandangan Hukum Positif ini bersebrangan dengan Pandangan Hukum Alam. Pandangan Hukum Positif menitik beratkan pada logika empiris (terukur dengan data) dan tidak ada campur tangan Tuhan didalamnya, sehingga hukum adalah murni hasil dari karya manusia berdasarkan data-data empiris yang terkodifikasi secara terstruktur[3]. Masih banyak aliran hukum selain dari pada dua aliran yang telah dibahas sebelumnya, namun dalam hal ini penulis mencoba mengkaitkan kedua aliran tersebut pada situasi Hukum di Indonesia saat ini.

Pandangan Hukum di Indonesia tidak sepenuhnya menganut aliran Hukum Alam, dan juga tidak sepenuhnya mengikuti aliran Positivisme. Menurut pandangan penulis, Indonesia menganut kedua aliran hukum tersebut baik aliran Hukum Alam dan Aliran Positivisme. Pendapat penulis dibuktikan dengan sistem hukum yang ada di Indonesia saat ini. Pertama bukti bahwa Indonesia menganut aliran Hukum Alam yaitu tercantum dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman pada pasal 2 ayat 1 disebutkan ”Peradilan dilakukan DEMI KETUHANAN YANG MAHA ESA”, yang berarti setiap putusan pengadilan di Indonesia harus berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Filosofi yang lebih mendasar dapat kita lihat pada pembukaan Undang-Undang Dasar tahun 1945 pada alinea ke 3 (tiga) tertulis “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa” sehingga filosofi dasar peradilan di Indonesia berdasar pada Ketuhanan.

Kedua bukti bahwa Indonesia menganut aliran Hukum Positivisme dapat kita lihat dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Secara umum Undang-Undang tersebut menjelaskan tentang herarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia dimana dalam pasal 1 ayat 2 dijelaskan bahwa “Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum”, maka dapat kita pahami sebagaimana aliran Hukum Positivisme yang mana Hukum tertulis yang dibuat oleh manusia adalah sumber hukum utama.

Menurut Prof. Zainal Asikin dalam bukunya yang berjudul “Mengenal Filsafat Hukum” Mengatakan bahwa Teori hukum yang berpengaruh kuat terhadap konsep-konsep dan implementasi hukum di Indonesia adalah aliran Hukum Positivisme. Pengaruh teori ini terlihat dari dominannya kodifikasi hukum yang berlaku di Indonesia. Pandangan masyarakat tentang hukum juga tidak terlepas dari peraturan perundang-undangan, dan diluar dari pada peraturan yang tertulis tidak dianggap sebagai sumber hukum. Nilai dan norma diluar peraturan perundang-undangan dapat diterima apabila terdapat kekosongan peraturan perundang-undangan, atau dengan kata lain tidak ada aturan tertulis yang mengaturnya[4].

Untuk menengahi kedua aliran tersebut Penulis berpendapat Positivisme Hukum di Indonesia terpaut pada Formalitas Hukum itu sendiri sedangkan material atau isi hukum dipisahkan yang disesuaikan dengan norma agama, moral dan politik yang bersumber pada ilmu pengetahuan lain. Untuk membahas masalah formil dan materil penulis akan bahas pada bagian selanjutnya.

Formil dan Materil Peradilan Agama di Indonesia

Selanjutnya pada baian ini penulis mengajak para pembaca untuk mengenal Pengadilan Agama dari sisi Formil dan Materil. Sehingga Pembaca akan lebih memahami dan meyakini bahwa Pengadilan Agama dibentuk bukan atas dasar mendiskriminasi agama lain, namun dibentuk atas dasar kepentingan dan kemanfaatan bersama untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat di Indonesia. Untuk memperjelas pembahasan tersebut penulis akan membagi kedalam dua bagian utama, yaitu pembahasan tentang formil Peradilan Agama dan tentang materil atau sumber hukum Peradilan Agama.

Pertama, penulis akan membahas Peradilan Agama secara Formil. Tentu kita tau Peradilan Agama di Indonesia ada berdasarkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 24 ayat 2, kemudian diimplementasikan dalam Peraturan Perundang-Undangan dibawahnya yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dalam perubahan terakhir Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009. Didalam Undang-Undang tersebut telah diatur mulai dari Hakim, Kedudukan, Struktur Organisasi, Hingga Wewenang Pengadilan Agama di Indonesia. Sehingga secara formil atau dengan kata lain hukum positif telah mengatur Pembentukan Pengadilan Agama di Indonesia.

Kedua, selanjutnya penulis akan membahas materil atau sumber hukum Peradilan Agama di Indonesia. Sumber hukum Peradilan Agama adalah Hukum Islam, dimana sumber Hukum Islam adalah Al-Quran dan Sunnah. Ijma’ dan Qiyas bukan merupakan sumber hukum utama, melainkan sarana pelengkap atau metode untuk menggali hukum yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah.[5] Al-Quran merupakan Kitab Suci agama Islam yang didalamnya mengandung firman Allah SWT yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW, didalam Al-Quran itu sendiri mengandung petunjuk dan hukum bagi umat Islam dan terbagi menjadi 3 bagian hukum yaitu: I’tiqadiyyah, yaitu hukum yang berhubungan dengan taukhid, Khuluqiyyah, yaitu hukum yang berhubungan dengan akhlak, yang ketiga adalah Amaliyah, yaitu hukum mengenai perbuatan manusia.[6]

As-Sunah adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan. As-Sunah disini tidak berdiri sendiri melainkan sebagai penjelas dan penguat Al-Qur-an. Adapun dalil Al-Quran yang mewajibkan kepada umat Islam untuk mentaati hukum Allah dan Rasul- Nya terdapat dalam surat An-Nisa ayat 59;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Artinya:

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Hubungan antara Sunah dan Al-Quran dilihat dari sisi materi hukum didalamnya dapat dibagi menjadi 2 yaitu, Muaqqid yang artinya Sunah Nabi SAW menguatkan dan mempertegas suatu yang telah ditetapkan dalam Al-Quran. Selanjutnya Bayan yang artinya Sunah menjelaskan terhadap ayat-ayat yang belum jelas. Dari hubungan tersebut yang pada akhirnya melahirkan hukum-hukum terapan dan dilaksanakan oleh seluruh umat Islam di dunia. Kedua sumber hukum tersebut telah menciptakan konsensus antar pakar hukum dan ahli hukum Islam didalam suatu kajian ilmiah yang disebut dengan Fiqih, sehingga lebih memperjelas sumber-sumber hukum Islam yang dapat diterapkan untuk menghadapi problematika masyarakat saat ini.

Berdasarkan penjelasan diatas tentang sisi Formil dan Materil Peradilan Agama dapat kita ambil kesimpulan bahwa Peradilan Agama di Indonesia di dirikan bukan merupakan bentuk diskriminasi terhadap kelompok minoritas, namun alasan didirikannya karena berdasarkan kesepakatan bersama yang tertuang dalam Falsafah Hukum di Indonesia yaitu UUD 1945 yang kemudian di Implementasikan dalam Peraturan Perundang-Undangan dibawahnya, disisi lain Hukum Islam memiliki sumber hukum utama yang terkodifikasi dan secara ilmiah dapat dikaji yaitu Al-Quran dan Sunnah yang sudah disepakati oleh umat muslim di Indonesia bahkan seluruh dunia.

Kesimpulan

Pada Akhirnya, Pengadilan Agama telah memiliki pondasi yang kokoh sebagai lembaga Peradilan di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat pencari keadilan khususnya yang beragama Islam. Pengadilan Agama saat ini terus berbenah dengan melakukan inovasi-inovasi pelayanan dibidang Teknologi Informasi, dan meningkatkan SDM yang berkualitas sehingga produk akhir yaitu Putusan akan memiliki dampak yang baik kepada masyarakat.

 

Penulis – Miftah Faris, S.H.I – Hakim Pengadilan Agama Baubau

[1] KumparanNews, Berita yang berjudul “UU Peradilan Agama Digugat ke MK karena Hanya Adili Warga Muslim”, di publikasikan pada tanggal 13 Mei 2020 pada situs Kumparan.com dengan link berita: UU Peradilan Agama Digugat ke MK karena Hanya Adili Warga Muslim | kumparan.com

[2] Prof. Zainal Asikin, Mengenal Filsafat Hukum, Edisi I (Yogyakarta: Andi), tahun 2020, hlm. 35

[3] Ibid, hlm. 53

[4] Prof. Zainal Asikin, Mengenal Filsafat Hukum…hlm. 103.

[5] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Pustaka Amani), 2003, hlm. 51.

[6] Ibid, hlm. 136.

Comments are closed.