Recover your password.
A password will be e-mailed to you.
Sejarah Pengadilan Agama Baubau
Semenjak penghapusan Pengadilan Swapraja dan Adat di Sulawesi, dengan Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 21 Agustus 1952 No. J.B.4/3/17, maka jalannya Peradilan Agama di sana sangat kacau. Beberapa pemerintah Swapraja secara serempak menyatakan untuk menyerahkan urusan Peradilan Agama kepada Kementerian Agama. Sedang di tempat lain Hakim-hakim Syara’ ada yang tetap menjalankan tugasnya seperti yang dilakukan dahulu pada masa Hindia Belanda.
Dengan penghapusan Pengadilan Swapraja dan Adat di Sulawesi tersebut di atas membuat pemerintah merasa perlu untuk segera mengadakan tindakan guna pelanjutan Peradilan Agama sesuai dengan maksud Pasal 1 ayat 4 dari Undang-Undang Darurat No. 1 tahun 1951, dengan mengadakan Peraturan Pemerintah yang mengatur pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di daerah luar Jawa dan Madura.
Peraturan pemerintah yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1957 tanggal 5 Oktober 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di Luar Jawa dan Madura. Kendati melalui Peraturan Pemerintah tersebut, belum secara tegas menyatakan pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah kecuali pernyataan bahwa di mana ada Pengadilan Negeri ada sebuah pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah, namun dengan kehadiran Peraturan Pemerintah tersebut menjadi cikal bakal lahirnya Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di luar Jawa dan Madura, apalagi dalam memori penjelasan Peraturan Pemerintah tersebut dengan tegas mencantumkan daftar nama-nama tempat di mana akan dibentuk Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di Wilayah Indonesia Timur. Melalui daftar tersebut tercatat 93 tempat yang akan dibentuk Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah, termasuk di dalamnya Baubau.
Sebagai tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah tersebut di atas, berselang lima bulan kemudian, Menteri Agama yang ketika itu dijabat oleh K.H. Mohd. Iljas, mengeluarkan Penetapan Menteri
Agama tentang pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di daerah Sumatera dengan Penetapan Nomor 58 tahun 1957, tanggal 13 November 1957, Penetapan Nomor 4 Tahun 1958 tanggal 6 Maret 1958 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di Wilayah Kalimantan dan pada waktu yang bersamaan, Menteri Agama menetapkan pembentukan PengadilanAgama/Mahkamah Syar’iyah di pulau Sulawesi, melalui PenetapanNomor 5 tahun 1958 tanggal 6 Maret 1958 yang secara khusus mengatur tentang Pembentukan Pengadilan Agama/
Mahkamah Syar’iyah di Wilayah Indonesia Timur, meliputi Sulawesi, Nusa Tenggara dan Maluku. Dengan penetapan tersebut, Menteri Agama membentuk 34 Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah untuk tingkat pertama, termasuk pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Baubau.
Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Baubau, sekaligus menjadi catatan sejarah monumental bahwa Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Baubau merupakan Pengadilan Agama pertama dan tertua di Wilayah Sulawesi Tenggara. Oleh karena di Wilayah Sulawesi Tenggara ketika itu belum terbentuk sebuah pemerintahan tingkat provinsi, kecuali pemerintahan tingkat II yang dikenal dengan Kabupaten Sulawesi Tenggara, sehingga menurut Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1957 tersebut di atas, Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Baubau menjadi bagian dari Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Provinsi yang bertempat di Makassar. Dalam mengawali aktivitas sebagai lembaga peradilan, Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Baubau dipimpin oleh K.H. Asyhari, yang ketika itu menjabat sebagai Qadi Syara di Baubau, tetapi tidak langsung dibarengi dengan penempatan hakimhakim baru yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), sementara menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957, bahwa Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah terdiri dari seorang Ketua dan sekurang-kurangnya dua orang anggota dan sebanyak-banyaknya delapan orang anggota yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama. Oleh karenaitu, menurut Drs. H. M. Ridwan Jongke, S.H., M.H., yang merupakan hakim pertama dari Pegawai Negeri Sipil setelah K.H. Azhari yang bertugas di Baubau, untuk bisa melaksanakan tugas sebagai lembaga penegak hukum bagi masyarakat muslim ketika itu, Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Baubau memanfaatkan beberapa orang kiyai, tokoh agama yang dianggap memiliki kemampuan di bidang hukum Islam untuk membantu Ketua Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah sebagai anggota majelis dalam melakukan persidangan. Mereka diangkat dengan Surat Keputusan Direktur Badan Peradilan Agama Departemen Agama RI yang honornya dibebankan kepada Pengadilan Agama.