Konstruksi Permohonan Wali Adhal Menjadi Perkara Kontensius
Konstruksi Permohonan Wali Adhal Menjadi Perkara Kontensius
Dr. M. Natsir Asnawi, S.H.I., M.H.
Hakim Yustisial BSDK Mahkamah Agung
Muh. Yusril Nasrum, S.H.
Calon Hakim di Pengadilan Agama Sleman
A. Pendahuluan
Hukum keluarga Islam, yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah, serta diperkaya oleh interpretasi para ulama melalui mazhab-mazhab fikih, mengatur aspek-aspek penting dalam kehidupan seorang Muslim, termasuk pernikahan. Dalam konteks pernikahan, konsep wali memiliki peran sentral, khususnya bagi mempelai perempuan. Wali, umumnya ayah atau kerabat laki-laki terdekat, bertindak sebagai pelindung dan penjamin kepentingan perempuan dalam akad nikah. Namun, dalam praktik, muncul situasi di mana wali enggan atau menolak menikahkan perempuan yang berada di bawah perwaliannya, sebuah kondisi yang dikenal sebagai wali Adhal. Di mana Wali Adhal merupakan wali yang tidak bisa menikahkan wanita yang telah baligh dan berakal dengan seorang laki-laki pilihannya, sedangkan masing masing pihak menginginkan pernikahan itu dilaksanakan.[1]
Fenomena wali Adhal ini memicu perdebatan dan perbedaan pendapat di antara para ulama dari empat mazhab utama dalam fikih Islam, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Masing-masing mazhab menawarkan solusi dan interpretasi yang berbeda terkait prosedur dan pihak yang berwenang dalam mengatasi wali Adhal. Perbedaan ini mencerminkan kekayaan dan fleksibilitas hukum Islam dalam merespons dinamika sosial dan kebutuhan umat.
Selain itu, hukum positif di Indonesia, melalui Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan peraturan perundang-undangan lainnya, juga memberikan kerangka kerja untuk menyelesaikan permasalahan wali Adhal. Dalam konteks ini, Pengadilan Agama memiliki peran penting dalam menetapkan wali hakim sebagai pengganti wali nasab yang Adhal.
Namun, praktik peradilan menunjukkan bahwa prosedur penetapan wali Adhal sebagai perkara voluntair menimbulkan pertanyaan mengenai keadilan dan hak-hak pihak terkait, khususnya wali nasab. Oleh karena itu, muncul wacana mengenai perlunya mempertimbangkan wali Adhal sebagai perkara kontentius, di mana wali nasab dapat menjadi pihak termohon dan memiliki kesempatan untuk membela diri.
Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis secara komprehensif permasalahan wali Adhal dalam perspektif hukum Islam dan hukum positif di Indonesia. Analisis ini mencakup:
· Perbedaan pendapat di antara empat mazhab fikih mengenai definisi, penyebab, dan solusi wali Adhal.
· Kerangka hukum positif di Indonesia yang mengatur penetapan wali hakim dalam kasus wali Adhal.
· Wacana mengenai perlunya mempertimbangkan wali Adhal sebagai perkara kontentius.
Dengan demikian, tulisan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai dinamika hukum keluarga Islam dan praktik peradilan terkait permasalahan wali Adhal, serta memberikan kontribusi bagi pengembangan hukum keluarga Islam yang lebih adil dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
B. Wali Adhal dalam Hukum Islam
Dalam tradisi keilmuan Islam, ada 4 (empat) mazhab utama dalam bidang fikih (hukum Islam) telah memainkan peran sentral dalam membimbin umat Muslim di seluruh dunia. Mazhab-mazhab ini, yang didirikan oleh para ulama terkemuka pada masa awal Islam, menawarkan kerangka kerja yang komprehensif untuk memahami dan menerapkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun terdapat perbedaan dalam beberapa aspek, keempat mazhab ini memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk memberikan panduan yang jelas dan relevan bagi umat Muslim dalam menjalankan ibadah dan menjalani kehidupan sesuai dengan ajaran Islam. Keberadaan mazhab-mazhab ini mencerminkan kekayaan dan keragaman pemikiran dalam tradisi keilmuan Islam, serta memberikan fleksibilitas bagi umat Muslim untuk memilih pendekatan yang paling sesuai dengan konteks dan kebutuhan mereka. Berikut penjelasan singkat tentang Wali Adhal menurut 4 (empat) mazhab:
1. Berdasarkan Mazhab Maliki
Dalam mazhab Maliki, pendapatnya cenderung sama dengan pendapat mazhab Syafi’I mengenai wali Adhal. Dalam pendapatnya, kalangan Maliki menyatakan:
“Tatkala ada seorang wali baik itu mujbir atau bukan, menghalangi maulanya untuk kawin dengan pasangan yang sekufu lagi pula si maula rela terhadapnya, maka perwalian tidak pindah pada wali pada wali yang jauh (wali ab’ad) akan tetapi berhak bagi si maulanya untuk melaporkan perkaranya kepada hakim, dengan maksud untuk mempertanyakan kepada si wali mengenai sebab-sebab itu dan masuk akal, maka hakim menyerahkan urusan maula tersebut kepadanya, akan tetapi kalau tidak, hakim memerintahkan pada si wali membangkang untuk mengawinkannya setelah di perintah hakim, maka hakim bertindak untuk mengawinkannya.”[2]
Berdasarkan pendapat tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam permasalahan wali adhal ini Mazhab Maliki berpendapat apabila seorang wali yang melakukan adhal terhadap perempuan yang berada di bawah perwaliannya maka penyelesaian dari wali adhal tersebut akan berpindah dan diserahkan kepada hakim, karena Mazhab Maliki berpendapat bahwa wali dalam pernikahan sangat penting dan apabila tidak adanya seorang wali maka pernikahan tersebut menjada bathil. Wali dapat menjadi adhal apabila ada ditemukan kenyataan yang membahayakan si perempuan baik secara fisik dan ketika akan melayani suaminya.
2. Berdasarkan Mazhab Hambali
Di dalam Mazhab Hambali, diceritakan tentang Ahmad bin Hambal bahwa beliau pernah memberikan penjelasan mengenai wali Adhal. Di satu riwayat, bahwa wali yang Adhal terutama yang Adhal itu adalah aqrab (wali terdekat), maka dengan demikian perwalian berpindah kepada wali ab’ad, sedang di sisi yang lain menjelaskan bahwa perwalian menjadi pindah kepada hakim.[3]
Namun dengan demikian, wali Adhal berikut upaya penyelesaiannya telah ditanggapi dan dibahas oleh kalangan Mazhab Hambali. Walaupun tidak melepaskan kemungkinan perbedaan pendapat di antara mereka. Walau demikian, Syeh Abdurrahman al Jaziri sebagaimana ada dalam keterangannya mengenai wali Adhal, yakni:
“Apabila ada seseorang yang mempunyai hak perwalian (wali) mencegah maulanya dari kawin dengan calon suami yang telah ia cintai, dan dengan member mahar, dan dia telah mencapai umur sembilan tahun bahkan lebih (ia telah baligh), sikap wali tersebut tidaklah sebagai keAdhal-nya wali terhadap maulanya dan bila wali itu Adhal maka perwalian berpindah kepada hakim, karena dialah yang berkewenangan untuk mengawinkan atas diri maula yang di wali mencegah dari kawin, baik itu wali mujbir maupun bukan mujbir.”[4]
Dari keterangan tersebut di atas, dapat diperoleh dalam Mazhab Hambali dalam hal ini ulamanya cenderung dalam proses dan penyelesaian wali Adhal dengan melalui seorang hakim dan hakim pula yang tampil sebagai penggantinya manakali wali yang bersangkutan tetap enggan atau Adhal. Namun, ada di antara mereka yang berpendapat lain, yakni penyelesaian wali Adhal dengan melalui wali kerabat yang lain walaupun wali yang jauh sekalipun, baru kemudian pindah ke hakim setelah mereka tidak bisa diharapkan untuk tampil sebagai wali.
3. Berdasarkan Mazhab Hanafi
Sebagaimana diungkapkan Abdurrahman al Jaziri melalui kitabnya, bahwa menurut ulama Mazhab Hanafi, wali aqrab yang melakukan pencegahan terhadap maulanya dari kawin dengan pasangan yang telah sekufu berikut dengan membayar mahar mitsil, maka jalan penyelesaiannya disebut sama halnya dengan penyelesaian atas wali yang ghaib yang sulit ditemukan dan didatangkan. Dengan demikian perwaliannya tidak pindah kepada wali hakim, selagi masih ada wali yang lain yaitu wali ab’ad.
Lebih lanjut Syekh Abdurrahman al Jaziri mengutip penjelasan Imam Abu Hanafiah, mengenai wali Adhal yang penjelasannya sebagai berikut:
“Apabila ada seorang bapak mencegah (melarang) anak perempuannya yang masih kecil, dan ia telah patut untuk di kawinkan, lagi pula pasangan calon suami telah sekufu dan dengan membayar mahar mitsil, maka dengan demikian wali yang bersangkutan (bapak) adalah Adhal dan dengan demikian pula perwalian menjadi pindah kepada wali berikutnya, seperti kepada kakek, jika ada dan kalau kakek tidak ada maka kepada saudara sekandung dan seterusnya.”[5]
4. Berdasarkan Mazhab Syafi’i
Pembahasan mengenai problematika wali Adhal berikut penyelesaiannya di dalam Mazhab Syafi’I sama-sama melibatkan seorang penguasa (Hakim) sebagai pengendalinya. Adapun mengenai keterlibatan penguasa atau hakim selaku pengendali kedua hal tersebut maksudnya adalah dialah yang berwenang untuk memproses dan mengusut permasalahan wali yang berkondisi Adhal tersebut, berikut mengusahakan dengan upaya apa yang mengantintisipasi dan penyelesaian munculnya permasalahan tersebut, hal ini di lakukan penguasa atau hakim tentunya setelah ada laporan pengajuan dari maula wali Adhal tersebut sebagai pihak yang diperlukan tidak adil atau rugikan. Mengenai keterlibatan seorang hakim terhadap wali Adhal tampak pada ulasan seorang ulama dari Mazhab Syafi’I, yakni Imam Jalaluddin al Mahalli yang antara lain menerangkan:
“Diharuskan dalam mencari kepastian bahwa seorang wali itu Adhal adalah di muka hakim setelah diperintah dan nyata-nyata menolak untuk melangsungkan perkawinan, sedangkan perempuan yang menjadi maulanya berikut laki-laki yang melamar juga hadir, atau juga ia didatangkan saksi untuk memperkuat atau menyembunyikannya (ini bila ia tidak hadir), dan setelah di hadapkan hakim, lalu si wali bersedia mengawinkannya. Tercapailah tujuan untuk mengantisipasi wali Adhal akan tetapi sebaliknya bila ia tidak bersedia mengawinkan maka nyatalah ia sebagai wali Adhal.”[6]
Singkatnya, dalam Mazhab Syafi’i wali Adhalakan tampak dan nyata sebagai suatu problematika dalam perwalian, manakala telah dihadapkan dan di buktikan oleh hakim yang menanganinya mengenai Adhalnya, hakim berkewajiban untuk mengupayakan agar perkawinan maulanya bisa berlangsung pertama dengan intruksi untuk mencabut Adhalnya yaitu dengan sanggup melangsungkan perkawinannya, dan kalau saja dia masih mencegah atau membangkang maka kewajiban bagi hakim untuk menempuh cara kedua yaitu penggantian wali.
C. Wali Adhal dalam Peraturan-Perundang-Undangan
1. Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Dalam Kompilasi Hukum Islam, proses penyelesaian terhadap wali yang Adhal diselesaikan melalui hakim. Hal tersebut telah dijelaskan pada Pasal 23 Kompilasi Hukum Islam:
1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau Adhal atau enggan.
2) Dalam hal wali Adhal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut.
2. Peraturan Menteri Agama
Peraturan Menteri Agama Nomor 22 Tahun 2024 tentang Pencatatan Pernikahan menjelaskan tentang wali hakim bisa menggantikan wali nasab sebagai wali nikah, atau karena Adhal(menolak/enggan), maka yang berhak menjadi wali nikah adalah wali hakim. Penyelesaian wali Adhaldalam Peraturan Menteri Agama dijelaskan dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 22 Tahun 2024 Pasal 13 terdapat aturan mengenai penetapan wali hakim, yaitu sebagai berikut:
1) Dalam hal tidak adanya wali nasab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3), akad nikah dilaksanakan dengan wali hakim;
2) Wali hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Penghulu yang diberi tugas tambahan sebagai Kepala KUA Kecamatan.
3) Dalam hal kepala KUA Kecamatan dijabat oleh selain Penghulu, wali hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Penghulu yang ditunjuk.
4) Surat penunjukan Penghulu sebagai wali hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh Kepala Kantor Kementerian Agama.
5) Wali hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bertindak sebagai wali dalam hal:
a. wali nasab tidak ada;
b. walinya adhal;
c. walinya tidak diketahui keberadaannya;
d. walinya tidak dapat dihadirkan/ditemui karena dipenjara;
e. wali nasab tidak ada yang beragama Islam; dan
f. wali yang akan menikahkan menjadi pengantin itu sendiri.
6) Wali adhal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b ditetapkan oleh Pengadilan.
7) Wali tidak diketahui keberadaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c didasarkan atas surat pernyataan bermaterai dari Catin dan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi.
8) Wali tidak dapat dihadirkan/ditemui sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf d karena yang bersangkutan sedang berada dalam tahanan dengan surat pernyataan pertanggungjawaban mutlak dari salah seorang anggota keluarga.
Sebelumnya Wali Hakim diatur secara khusus pada Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2005 tentang Wali Hakim. Namun, telah dicabut dan diganti dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 20 Tahun 2019 yang kemudian dicabut dan diganti dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 22 Tahun 2024 tentang Pencatatan Pernikahan.
3. SEMA No. 7 Tahun 2012 – Kamar Agama
Pada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2012 telah dijelaskan bahwa perkara wali Adhal tetap diajukan sebagai perkara voluntair berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 (Pasal 21 ayat 1-5). Berikut isi dari Pasal 21 Ayat 1-5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan:
1) Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-undang ini, maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan.
2) Di dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan. oleh pegawai pencatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya.
3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada pengadilan didalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut diatas.
4) Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan, agar supaya perkawinan dilangsungkan.
5) Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan para pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud mereka.
4. Buku II
Pada Buku II tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Edisi Revisi Tahun 2013, juga telah dijelaskan bahwa calon mempelai wanita yang akan melangsungkan perkawinan yang wali nikahnya tidak mau menjadi wali dalam perkawinan tersebut dapat mengajukan permohonan penetapan wali Adhal kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah, dengan penjelasan sebagai berikut:
1) Permohonan penetapan wali adhal diajukan oleh calon mempelai wanita yang wali nikahnya tidak mau melaksanakan pernikahan kepada Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah dalam wilayah hukum dimana calon mempelai wanita tersebut bertempat tinggal.
2) Permohonan wali adhal yang diajukan oleh calon mempelai wanita dapat dilakukan secara kumulatif dengan izin kawin kepada Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah dalam wilayah hukum dimana calon mempelai wanita tersebut bertempat tinggal.
3) Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah dapat mengabulkan permohonan penetapan wali adhal setelah mendengar ketetapan orang tua.
4) Permohonan wali adhal bersifat voluntair, produknya berbentuk penetapan. Jika Pemohon tidak puas dengan penetapan tersebut, maka Pemohon dapat mengajukan upaya kasasi.
5) Upaya hukum dapat ditempuh orang tua (ayah) Pemohon adalah:
a) Pencegahan perkawinan, apabila perkawinan belum dilangsungkan.
b) Pembatalan perkawinan, apabila perkawinan telah dilangsungkan.
5. SEMA No. 5 Tahun 2014 – Kamar Agama
Pada Buku II tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Edisi Revisi Tahun 2013, juga telah dijelaskan bahwa Permohonan wali Adhal diperiksa secara voluntair. Hal ini karena perkara voluntair sudah ditentukan di dalam undang-undang. Akan tetapi dalam pemeriksaan perkara wali Adhal hendaknya memanggil wali nikah untuk didengarkan pendapatnya di dalam persidangan. Jika wali nikah keberatan dengan penetapan pengadilan maka wali tersebut dapat mengajukan pencegahan perkawinan atau mengajukan pembatalan pernikahan jika pernikahan sudah dilangsungkan.
D. Perkara Voluntair yang Bisa Menjadi Contensius
Dalam dunia peradilan agama, ada beberapa perkara voluntair yang menjadi kontentiusdengan menjadikan pihak lain yang memiliki hak menjadi Termohon dalam perkara tersebut.. Di antaranya yaitu permohonan istbat nikah dan permohonan perwalian. Berikut akan diulas bagaimana dua perkara permohonan tersebut menjadi kontentius.
1. Itsbat Nikah
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa itsbat nikah merupakan salah satu perkara permohonan yang bisa diajukan secara contentious dalam beberapa kondisi, seperti yang telah dijelaskan pada Buku II tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama. Berikut beberapa keadaan di mana itsbat nikah bisa menjadi kontentius:
- Proses pemeriksaan permohonan itsbat nikah yang diajukan oleh salah seorang suami atau isteri bersifat kontensius dengan mendudukkan isteri atau suami yang tidak mengajukan permohonan sebagai pihak Termohon, produknya berupa putusan dan terhadap putusan tersebut dapat diajukan upaya hukum banding dan kasasi.
- Jika dalam proses pemeriksaan permohonan itsbat nikah dalam angka (2) dan (3) tersebut di atas diketahui bahwa suaminya masih terikat dalam perkawinan yang sah dengan perempuan lain, maka isteri terdahulu tersebut harus dijadikan pihak dalam perkara. Jika Pemohon tidak mau merubah permohonannya dengan memasukkan isteri terdahulu sebagai pihak, permohonan tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima.
- Permohonan itsbat nikah yang dilakukan oleh anak, wali nikah dan pihak lain yang berkepentingan harus bersifat kontensius, dengan mendudukkan suami dan isteri dan/atau ahli waris lain sebagai Termohon.
- Suami atau isteri yang telah ditinggal mati oleh isteri atau suaminya, dapat mengajukan permohonan itsbat nikah secara kontensius dengan mendudukkan ahli waris lainnya sebagai pihak Termohon, produknya berupa putusan dan atas putusan tersebut dapat diupayakan banding dan kasasi.
2. Perwalian
Bukan hanya perkara permohonan istbat nikah yang bisa menjadi kontentius, tapi juga perkara permohonan perwalian. Sama seperti permohonan istbat nikah, permohonan perwalian bisa menjadi kontentiusdengan beberapa keadaan. Keadaan tersebut adalah:
- Dalam hal wali melalaikan kewajibannya terhadap anak, atau berkelakuan buruk atau tidak cakap, keluarga dalam garis lurus ke atas, saudara kandung, pejabat / kejaksaan dapat mengajukan pencabutan kekuasaan wali secara kontensius kepada Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah dalam wilayah hukum dimana wali melaksanakan kekuasaannya.
- Gugatan pencabutan wali dapat digabung dengan permohonan penetapan wali pengganti serta gugatan ganti rugi terhadap wali yang dalam melaksanakan kekuasaan wali menyebabkan kerugian terhadap harta benda anak di bawah perwalian (Pasal 53 ayat (2) dan Pasal 54 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974).
E. Penutup
Penyelesaian pernikahan jika walinya adhal (enggan menikahkan) menurut para ulama fiqh adalah sebagai berikut: Golongan hanafiah menyatakan bahwa penyelesaian pernikahan jika walinya adhal adalah melalui seorang hakim sebagai penengah. Sedangkan Syafiiyah, Hambaliyah dan Malikiyah menyatakan bila wali adhal untuk menikahkan anaknya, dalam hal ini wali Aqrabnya, dan mana kala wali ab’ad tidak bisa menggantikannya, maka hak kewaliannya diserahkan kepada wali Hakim. Dalam peraturan perundang-undangan sendiri menyatakan bahwa wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau Adhal atau enggan. Dan dalam hal wali Adhal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada penetapan dari Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah tentang wali tersebut atas permohonan dari calon mempelai wanita.
Menurut penulis, pengajuan perkara wali Adhal secara voluntair sudah tidak relevan lagi. Karena ayah dalam hal ini memiliki hak sebagai wali nikah utama. Melihat dari beberapa perkara permohonan yang bisa menjadi kontentius, perkara permohonan wali adhal juga bisa diajukan secara kontentiusdengan menjadikan wali nikah sebagai Termohon,karena wali nikah memiliki hak dalam permohonan tersebut bukan hanya sekedar didengarkan keterangannya, tapi juga bisa membuktikan alasan-alasan penolakannya menjadi wali nikah sebagai pihak yang merasa kepentingannya akan dirusak, seperti calon suami tidak memiliki agama atau akhlak yang baik, calon suami membahayakan bagi pihak perempuan, tujuan nikah tidak syar’I (misalnya untuk nikah mut’ah atau nikah kontrak), calon suami tidak sekufu bagi pihak perempuan, dan sudah ada lamaran yang belum dibatalkan. Alasan-alasan tersebut harus bisa dibuktikan oleh seorang wali nikah sebagai pihak yang memiliki kepentingan hukum untuk meyakinkan Hakim bahwa wali enggan atau adhal hanya semata-mata karena kepentingan terbaik bagi anaknya dan menjaga kemaslahatan keluarga. Dalam perkara wali adhal yang menjadikan wali nikah sebagai Termohon, produknya berupa putusan yang bisa diajukan upaya hukum banding dan kasasi oleh Pemohon dan/atau wali nikah sebagai Termohon. Bukan upaya hukum seperti pencegahan perkawinan dan pembatalan perkawinan yang merupakan gugatan dasar atau awal yang bisa memuculkan upaya hukum banding dan kasasi juga.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Abdul Aziz Dahlan, Abdul Aziz, et.al., Ensiklopedia Hukum Islam, cet. Ke-I, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993.
Al-Jazīrī, Abdurrahman, Kitabul Fiqih Alal Mazhibul al Arbaah, Jilid IV,
Ibn Qudāmah, Al-Imām Syamsuddin Abi Faraj Abdurrahman, al-Mughni Wa Syahrul Kabir juz VII, Beirut: Darul Kutabil Ilmiyah, tt.
Al-Maḥallī, Jalāluddin bin Muhammad bin Ahmad, Syarh Minhajut Talibin, Juz III, cet IV, Surabaya: Maktabah Nabhan, 1974.
PERATURAN
Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2005 tentang Wali Hakim
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2012 Kamar Agama
Buku II tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Edisi Revisi Tahun 2013
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2014 Kamar Agama
Peraturan Menteri Agama Nomor 22 Tahun 2024 tentang Pencatatan Pernikahan
[1] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, cet. ke-I (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,1993), hlm. 1339
[2]Abdurraḥmān al-Jazīrī, Kitāb al-Fiqih Alal Mażahib al-Arba’ah (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), IV: 35.
[3] Al-Imam Syamsuddin Abi Faraj Abdurrahman Ibnu Qudamah Almunqaddasi, al-Mugni Wa Syarh al-Kabir (Bieurt: Darul Kutubil Ilmiyah, tt.), VII: 368.
[4] Abdurrahman Al-Jaziri, Kitabul Fiqih Alal Mazhibul al Arbaah, 41.
[5] Abdurrahman Al-Jaziri, Kitabul Fiqih Alal Mazhibul al Arbaah, 41.
[6] Jalāluddīn bin Muḥammad bin Aḥmad Al Maḥallī, Syarh Minhāj al-Talibin, cet IV (Surabaya, Maktabah Nabhan, 1974), III: 225.
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.